Pada
tanggal 17 Oktober 2014 Menteri Agama telah menetapkan Peraturan Menteri Agama (PMA)
Nomor 43 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembayaran Tunjangan Profesi Guru Bukan
PNS pada Kementerian Agama. Setidaknya ada dua hal mendasar yang berubah pada
peraturan dari regulasi sebelumnya tentang hal yang sama yaitu Keputusan Direktur
Jenderal Pendidikan Islam Nomor DJ.I/DT.I.I/166/2012 tentang Pedoman Teknis
Penghitungan Beban Kerja Guru Raudhatul Athfal/Madrasah yang telah dicabut pada
tanggal 25 Mei 2015 dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 103 Tahun 2015.
Perubahan
mendasar pertama adalah jumlah jam minimal pada madrasah induk. Pada Keputusan Dirjen
Pendis 166/2012 beban minimal sesuai sertifikat pendidik di Madrasah Induk
(Satminkal) 6 Jam Tatap Muka (JTM), sedangkan berdasarkan PMA 43/2014 minimal
12 JTM. Hal ini menyulitkan bagi guru yang jumlah alokasi jamnya kurang dari 4
Jam per pekan diantaranya Pendidikan Agama Islam (PAI) terutama di Madrasah
Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) yang hanya memiliki 3 rombongan
belajar (Rombel).
Perubahan
mendasar kedua adalah dinafikannya keserumpunan mata pelajaran. Pada Keputusan
Dirjen 166/2012 beberapa mata pelajaran yang serumpun bisa menjadi tambahan JTM
sertifikasi mapel tertentu, tetapi pada PMA 43/2014 hal ini sudah tidak
berlaku. Yang menjadi rancu saat itu adalah karena PMA 43/2014 berlaku bagi Guru
Bukan PNS. Sementara yang PNS masih mengacu pada Keputusan Dirjen Nomor
166/2012. Yang menjadi pemikiran utama kami saat itu adalah Mata Pelajaran (Mapel)
PAI yang dirinci menjadi empat (Quran Hadis, Akidah Akhlak, SKI, dan Fikih). Sebagaimana
diketahui sertifikasi PAI di Madrasah berdiri sendiri dari keempat Mapel PAI tersebut.
Ketika kami tanyakan ke pihak pegawai di Seksi Pendidikan Madrasah apakah boleh
Sertifikasi Mapel Quran Hadis ditambah dengan Fikih, Akidah Akhlak atau SKI? Jawaban beliau: "sesuai bidang studi pada
sertifikat pendidik". Pada hal bidang studi pada sertifikat berbunyi
"Quran Hadis", "Akidah Akhlak", dst. Jawaban ini memang sedikit 'politis' dan ada keraguan ini bisa kami pahami dari pembicaraan sebelumnya melalui FB.
Nah
akhirnya KMA 103/2015 pada bab III menjawab kegalauan kami dan 'memecah' salah
tafsir tersebut. Dalam KMA ini salah satunya disebutkan "Guru Al-Qur'an-Hadis mengajar Akidah-Akhlak, Fikih, Sejarah
Kebudayaan Islam, Tafsir-Ilmu Tafsir, atau Hadis-Ilmu Hadis".
Tentu saja juga mata pelajaran "Al-Qur'an-Hadis" itu sendiri meskipun
tidak disebutkan di Bab III KMA ini.
Setidaknya
ada dua kerancuan yang kami temukan dalam KMA 103/2015 ini:
Pertama:
Pada Bab II angka 1: "Dalam kondisi tertentu seorang guru delas diperbolehkan mengampu lebih dari 1 (satu) kelas. Kerancuannya
adalah tidak ada bagian yang memberikan referensi atau penjelasan kondisi apa
saja yang dimaksud dalam KMA ini.
Kedua:
berdasarkan PMA 43/2014 beban kerja minimal di Satminkal bagi Guru Bukan PNS
jelas diatur minimal 12 JTM. Sementara untuk guru PNS tidak diatur dalam KMA
ini. Dalam kasus ini bisa ditafsirkan tiga kemungkinan: sama dengan Guru Bukan
PNS (12 JTM), seluruh JTM harus di Satminkal, tidak perlu batasan minimal di
Satminkal (1 JTM saja bisa meski hal ini tidak masuk 'akal').
Inilah
KMA yang ditunggu meskipun tidak 100% sesuai harapan, tinggal implementasi PMA
43/2014 melirik pada KMA ini atau tidak, karena adanya selang waktu 7 bulan.
Sekali
lagi kami tegaskan, sudah cukup sering Kemenag membuat regulasi yang multi
tafsir, terdapat "kejanggalan"
bahkan "kontradiktif". Jadi tidak usah kaget, belum lagi pelaksana
kebijakan yang memiliki tafsir berbeda antar daerah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar